BAB
II
SEJARAH
PEMBINAAN DAN PENGHIMPUNAN HADIS
Diantara
ulama tidak seragam dalam menyusun periodesasi pertumbuhan dan perkembangan
Hadis ini. Ada yang membaginya kepada tiga periode saja, seperti masa Rasul SAW
sahabat dan tabi’in, masa pen-tadwin-an,dan
masa setelah tadwin.Ada yang
membaginya kepada periodesasi yang lebih terperinci, sampai lima atau tujuh
periode, dengan spesifikasi tertentu.
Terlepas
dari pendapat para ulama tentang periodesasi yang dikemukakan di atas, yang
perlu diuraikan secara khusus pada pembahasan disini, ialah masa Rasul SAW,
masa sahabat, masa tabi’in, masa pentadwi’n-an atau pembukaan, masa seleksi
atau penyaringan Hadis, serta masa sesudahnya.
A.
Hadis pada Masa Rasul SAW
Periode Rasul SAW merupakan periode pertama sejarah pertumbuhan
dan perkembangan Hadis. Periode ini terhitung cukup singkat jika dibanding
dengan masa-masa berikutnya. Masa ini
berlangsung selama 23 tahun, mulai tahun 13 sebelum hijriah bertepatan dengan
tahun 610 masehi sampai dengan tahun 11 hijriah bertepatan dengan tahun 632 masehi. Masa ini merupakan
kurun waktu turun wahyu (‘ashr al-wahyi) dan sekaligus sebagai masa pertumbuhan
Hadis.
Wahyu yang diturunkan Allah SWT kepada Rasul dijelaskannya melalui
perkataan (aqwal), perbuatan (af’al), dan ketetapannya (taqarir) dihadapan para
sahabat. Apa yang di dengar, dilihat, dan disaksikan oleh mereka, merupakan
pedoman bagi amaliah dan ubudiah mereka sehari-hari. Dalam hal ini Rasul SAW
merupakan contoh satu-satunya bagi para sahabat, karena ia memiliki sifat kesempurnaan
dan keutamaan selaku Rasul Allah SWT yang berbeda dengan manusia lainnya.
1. Beberapa petunjuk Rasul SAW
Dalam suatu majilis ilmu, Rasul SAW adalah guru atau pembina bagi para
sahabatnya. Beliau mengerjakan segala aspek ajaran Allah SWT, sesuai dengan
kedudukannya sebagai Rasul terakhir.
Rasul juga sering menyampaikan do’a-do’anya kepada siapa saja yang
menyampaikan ajarannya, agar dibukakan pintu hatinya, serta mendapat imbalan
dari pada-Nya(H.R. Ahmad dari Ibn Mas’ud). Dalam beberapa sabdanya beliau juga
menyampaikan wasiat-wasiatnya untuk selalu menyampaikan Hadis kepada orang
lain.
2. Cara Menyampaikan Hadis
Menurut riwayat al-Bukhari, Ibnu Mas’ud pernah bersabda bahwa
untuk tidak melahirkan rasa jenuh dikalangan sahabat, Rasul SAW menyampaikan hadisnya
dengan berbagai cara, sehingga membuat para sahabat selalu ingin mengikuti
pengajiannya.
Ada beberapa teknik atau cara Rasul SAW menyampaikan Hadis kepada
para sahabat, yang disesuaikan dengan kondisi mereka.
Pertama, melalui para jama’ah pada pusat pembinaannya yang disebut
majelis al-‘Ilmi. Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang
untuk menerima Hadis, sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasi kan
diri untuk mengikuti kegiatannya.
Kedua, dalam banyak kesempatan Rasul SAW juga menyampaikan
hadisnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para sahabat
tersebut disampaikannya kepada orang lain.
Ketiga, melaui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti
ketika haji wada’ dan futuh Makkah.
Keempat, melalui perbuatan langsungnyang disaksikan oleh para
sahabatnya (jalan musya’hadah), seperti yang berkaitan dengan praktek-praktek
ibadah dan mua’malah.
Ada suatu keistimewaan pada masa ini yang membedakannya dengan
masa lainnya. Umat islam pada masa ini dapat secara langsung memperoleh Hadis
dari Rasul SAW sebagai sumber Hadis. Antara Rasul SAW dengan mereka tidak ada
jarak atau hijab yang dapat menghambat atau mempersulit pertemuannya.
Tempat-tempat yang digunakan untuk pertemuan dan untuk mendapatkan
pengajaran dari Rasul SAW juga sangat bervariasi. Dan tidak kaku pada
tempat-tempat tertentu saja. Tempat-tempat yang efektif biasanya digunakannya,
seperti di masjid, rumah kediamannya sendiri, pasar ketika dalam perjalan
(safar), dan ketika muqi’m (berada dirumah).
Ada beberapa tujuan Rasul menyampaikan hadis kepada para sahabat,
diantaranya ialah: pertama, karena ia bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat
yang diturunkan Allah SWT kepadanya dalam waktu yang cukup panjang; kedua, ia
bermaksud menjelaskan kepastian hukum tentang suatu peristiwa yang dilihat dan
dialaminya sendiri; ketiga, bermaksud menjelaskan kepastian hukum tentang suatu
peristiwa yang terjadi pada para sahabat yang ditanyakan kepadanya, baik oleh
pelaku peristiwa itu maupun melalui orang lain; keempat, bermaksud menjellaskan
kepastian hukum yang terjadi pada masyarakat yang disaksikan oleh sahabat; kelima
bermaksud meluruskan akidah yang salah atau tradisi yang tidak sejalan dengan
ajaran islam.
3. Keadaan Para Sahabat dalam Menerima dan
Menguasai Hadis
Dalam perolehan dan penguasaan Hadis, antara satu sahabat dengan
sahabat lainnya tidak sama. Ada yang memiliki lebih banyak, ada yang sedang,
ada yang sedikit.
4. Pemelihara Hadis dalam Hafalan dan Tulisan
a.
Aktifitas menghafal hadis
Untuk memelihara kemurnian untuk mencapai kemaslahatan al-Qur’an
dan Hadis, sebagai dua sumber ajaran Islam, Rasul SAW Mengambil kebijaksanaan
yang agak berbeda.
Terhadap al-Qur’an beliau secara resmi memberi instruksi kepada
sahabat tertentu supaya menulis
disamping menghafalnya. Sedang terhadap Hadis perintah resmi itu hanya untuk
menghafal dan menyampaikannnya kepada orang lain.
Dengan demikian maka Hadis-hadis yang diterima dari Rasul SAW oleh
para Sahabat dihafal secara sungguh-sungguh dan hati-hati , untuk tidak terjadi
kekeliruan, baik dalam lafadz maupun maknany, dan supaya tidak tercampur dengan
ayat-ayat al-Qur’an.
b.
Aktifitas
Mencatat atau Menulis Hadis
Banyak sekali para sahabat yang memiliki catatan-catatan dan
melakukan penulisan Hadis, bukan untuk disimpan sebagai catatan-catatan pribadi
maupun untuk memberikan pesan-pesan kepada orang lain dalam bentuk surat
menyurat dengan membubuhkan Hadis.
Di antara para sahabat yang melakukan penulisan Hadis, dan
memiliki catatan tersebut, ialah:
Pertama, Abdullah bin Amr al-‘Ash(27 SH-63 H). Ia memiliki catatan
Hadis yang menurut pengakuannya di benarkan oleh Rasul SAW sehingga diberinya
nama as-shahi’fah as-shadiqah.
Kedua, Jabir bin Abdillah bin Amr bin Haram al-Anshari(16 SH-78
H). Ia memiliki catatan Hadis dari Rasul SAW tentang menasik Haji.
Hadis-hadisnya kemudian diriwayatkan oelh Muslim. Catatannya ini dikenal dengan
shahifah Jabir.
Ketiga, Anas bin Malik(10 SH-93 H). Di samping ia sendiri menulis
dan menghafal Hadis, ia juga mendorong putra-putrinya untuk menuliskan Hadis.
B.
Hadis pada Masa Sahabat
Periode kedua sejarah perkembangan Hadis,
adalah masa sahabat khususnya masa khulafa’ar-rasyidin(Abu Bakar, Umar bin
al-Khathab, Usman bin Affan, dan Ali bin Ali Thalib). Masa ini terhitung sejak
tahun 11 H sampai dengan 40 H, yang disebut juga dengan masa sahabat besar.
Pada masa sahabat besar ini, perhatian mereka
masih terfokus kepada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an. Dengan demikian
maka periwayatan Hadis belum begitu berkembang, bahkan mereka berusaha
membatasi periwayatan Hadis tersebut. Oleh karena itu, masa ini oleh para ulama
dianggap sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan atau memperketat
periwayatan(at-tatsabbut wa al-iqlal min ar-riwayah).
1.
Memelihara Amanah Rasul SAW
Para sahabat,
sebagai generasi pertama yang menerima amanah terbesar bagi kelangsungan
syari’at Islam, adalah menerima dan melaksanakan segala amanah Rasulullah.
Amanah itu essensinya tertuang pada al-Qur’an dan Hadis, sebagaimana sabdanya
ketika menjelang akhir kerasulannya, yang berbunyi:
“Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam,
yang tidak akan sesat setelah berpegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah
(al-Qur’an) dan Sunahku.
”(H.R. al-Hakim dari Abu Hurairah)
Pada Hadis lain Rasul juga berpesan:
“Sampaikanlah dariku walau satu ayat/satu
Hadis.”(H.R. al-Bukhari dari Abdullah bin Amr bin al-‘Ash).
2.
Kehati-hatian para Sahabat dalam Menerima dan
Merwayatkan Hadis
Setelah Rasul SAW
wafat, perhatian para sahabat terfokus pada usaha menyebarluaskan dan
memelihara al-Qur’an. Al-Qur’an yang telah dihafal oleh ribuan penghafalnya
dengan teratur, dan telah ditulis dalam berbagai shuhuf oleh para penulisnya
(baik untuk Nabi SAW sendiri maupun untuk kepentingan masing-masing), mendapat
prioritas utama untuk terus disebarkan ke berbagai pelosok wilayah Islam dan
seluruh Masyarakat.
3.
Upaya para Ulama Men-taufiq-kan Hadis
tentang Lrangan Menulis Hadis
Perselisihan para
ulama dalam soal pembekuan Hadis berpangkal pada adanya dua kelompok Hadis,
yang dari sudut zhahirnya nampak adanya kontradiksi. Kelompok Hadis yang
Pertama, menunjukkan adanya larangan Rasul SAW menuliskan Hadis, yang
diantaranya berbunyi;
“
Janganlah kamu sekalian menulis apa saja dariku selain al-Qur’an. Siapa yang
telah menulis dariku selain al-Qur’an, hendaklah dihapus. Ceritakan saja apa
yang diterima dariku, dan Siapa yang dengan sengaja berdusta atas namaku, ia
niscaya menempati tempat duduknya di api neraka.
Hadis diatas diriwayatkan oleh Muslim melalui silsilah sanad
Hammam, dari Zaid bin Aslam, dari Atha’, dari Abu Sa’id al-Khudri Sanad-sanad Hadis ini oleh para ulama dinilai Shahih.
Sedangakan Hadis kelompok kedua, adalah beberapa Hadis, seperti
riwayat Abdullah bin Amr bin al-‘Ash dan Hadis tentang Abu Syah seperti telah
disebutkan pada subbab diatas. (4. B. Bab ini) Hadis-hadis tersebut menunjukkan
adanya perintah Rasul SAW untuk menuliskan Hadis-hadis dari padanya.
C.
Hadis pada Masa Tabi’in
1.
Sikap dan perhatian para Tabi’in terhadap
Hadis
Sebagaimana para
sahabat, para tabi’in juga cukup berhati-hati dalam periwayatan Hadis. Hanya
saja beban mereka tidak terlalu berat jika dibanding dengan yang dihadapi para
sahabat. Pada masa ini Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf, sehingga
tidak lagi mengkhawatirkan mereka. Selain itu, pada masa akhir periode khulafa
ar-rasyidin (masa khalifah Utsman bin Affan) para sahabat ahli Hadis telah
menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan Islam. Ini merupakan kemudahan bagi para
tabi’in untuk mempelajari Hadis-hadis dari mereka.
2.
Pusat-pusat Kegiatan Pembinaan Hadis
Sesuai dengan
tersebarnya para sahabat ke wilayah-wilayah kekuasaan Islam, Maka tercatat
beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan Hadis, sebagai tempat
tujuan para tabi’in dalam mencari Hadis, dan pada gilirannya menjadi pusat
kegiatan para tabi’in dalam meriwayatkan Hadis-hadis tersebut kepada para
muridnya(tabi’at-tabi’in).
3.
Para Penulis Hadis di Kalangan Tabi’in
Sebagaimana para sahabat, dikalangan tabi’in,
baik tabi’in besar maupun tabi’in kecil, juga melakukan dua hal yaitu menghafal
dan menulis Hadis.
4.
Perpecahan Politik dan Pemalsuan Hadis
Peristiwa
yang cukup mengkhawatirkan dalam sejarah perjalanan Hadis, ialah terjadinya
pemalsuan Hadis, yang salah satu penyebabnya ialah terjadinya perpecahan
politik dalam pemerintahan. Dipandang mengkhawatirkan, karena, merupakan
tindakan yang mencemarkan dan menodai kemurnian Hadis dari dalam, dan ini oleh
para pengingkar orientalis dijadikan salah satu alasan kuat untuk melemahkan
kedudukan Hadis.
D.
Masa Kodisifikasi Hadis
Kodifikasi atau
tadwin Hadis, artinya ialah pencatatan, penulisan atau pembukuan Hadis. Secara
individual, seperti diuraikan dalam pembahasan diatas, pencatatan telah
dilakukan oleh para sahabat sejak jaman Rasul SAW.
1.
Latar belakang Pemikiran Munculnya Usaha
Kodifikasi Hadis
Ada tiga hal pokok mengapa khalifah Umar bin
Abd al-Aziz mengambil kebijaksanaan seperti ini. Pertama, ia khawatir hilangnya
Hadis-hadis, dengan meninggalnya para ulama di medan perang. Kedua, ia khawatir
akan tercampurnya antar Hadis-hadis yang Shahih dengan Hadis-hadis palsu.
Ketiga, bahwa dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam, sementara
kemampuan para tabi’in antara satu dengan yang lainnya tidak sama, jelas sangat
memerlukan adanya usaha kodifikasi ini.
2.
Pembukuan Hadis Pada Kalangan Tabi’in dan
Tabi’at Tabi’in Setelah Ibn Syibah az-Zuhri
Diantara para
ulama setelah az-Zuhri, ada ulama ahli Hadis yang berhasil menyusun kitab tadwin, yang bisa diwariskan kepada
generasi sekarang, yaitu Malik bin Anas (93-179 H) di Madinah, dengan kitab
hasil karyanya bernama al-Muwaththa. Kitab tersebut selesai disusun pada tahun
143 H dan para ulama menilainya sebagai kitab tadwin yang pertama.
E.
Masa Seleksi, Penyempurnaan, dan Pengembangan
Sistem Penyusunan Kitab-kitab Hadis
1.
Masa Seleksi Hadis
Yang dimaksud
dengan masa seleksi atau penyaringan disini, ialah
masa upaya para mudawwin Hadis yang melakukan seleksi secara ketat, sebagai
kelanjutan dari upaya para ulama sebelumnya yang telah berhasil melahirkan
suatu kitab tadwin. Masa ini dimulai
sekitar akhir abad III, atau ketika pemerintahan dipegang oleh dinasti Bani
Abbas, khususnya sejak masa al-Mukmun sampai dengan akhir abad III atau awal
abad IV, masa al-Muktadir.
Munculnya
periode seleksi ini, karena pada periode sebelumnya yakni periode tadwin, belum
berhasil memisahkan beberapa Hadis Mauquf dan Maqthu dari Hadis Marfu. Begitu
pula masih belum bisa memisahkan beberapa Hadis yang Dha’if dan yang Shahih.
Pada
masa ini ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan Hadis yang
diterimanya. Melalui kaidah-kaidah yang ditetapkannya. Dan para ulama pada masa
ini berhasil memisahkan Hadis-hadis yang Dha’if dari yang Shahih dan
Hadis-hadis yang Mauquf dan yang maqfu dari yang marfu’.
2.
Kitab-Kitab Induk Yang Enam (al-Kutub
as-Sittah)
Satu per satu kitab-kitab hasil seleksi ketat
itu pada masa ini. Ulama yang pertama
kali berhasil menyusun kitab tersebut, ialah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail
bin Ibrahim bin al-Mugirah bin Bardizbah al-Bukhari
3.
Masa Pengembangan dan Penyempurnaan Sistem
Penyusunan Kitab-kitab Hadis
Penyusunan kitab-kitab pada masa ini lebih
mengaruh kepada usaha mengembangkan beberapa variasi pen-tadwinan terhadap
kitab-kitab yang sudah ada. Maka setelah berjalan beberapa saat dari munculnya
Kutub as-Sittah, al-Muwaththa’ Malik bin Anas, dan al-Musnad Ahmad ibn Hambal,
para ulama mengalihkan perhatiannya untuk menyusun kitab-kitab jawami
(mengumpulkan kitab-kitab Hadis menjadi satu karya),
Firqoh
Fasiha Ohoirenan (12730071)
Ilmu
Komunikasi (B)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar