Rabu, 08 Mei 2013

Tugas Al-Hadis Semester 2


BAB II
SEJARAH PEMBINAAN DAN PENGHIMPUNAN HADIS

Diantara ulama tidak seragam dalam menyusun periodesasi pertumbuhan dan perkembangan Hadis ini. Ada yang membaginya kepada tiga periode saja, seperti masa Rasul SAW sahabat dan tabi’in, masa pen-tadwin-an,dan masa setelah tadwin.Ada yang membaginya kepada periodesasi yang lebih terperinci, sampai lima atau tujuh periode, dengan spesifikasi tertentu.
Terlepas dari pendapat para ulama tentang periodesasi yang dikemukakan di atas, yang perlu diuraikan secara khusus pada pembahasan disini, ialah masa Rasul SAW, masa sahabat, masa tabi’in, masa pentadwi’n-an atau pembukaan, masa seleksi atau penyaringan Hadis, serta masa sesudahnya.

A.     Hadis pada Masa Rasul SAW
Periode Rasul SAW merupakan periode pertama sejarah pertumbuhan dan perkembangan Hadis. Periode ini terhitung cukup singkat jika dibanding dengan masa-masa berikutnya.  Masa ini berlangsung selama 23 tahun, mulai tahun 13 sebelum hijriah bertepatan dengan tahun 610 masehi sampai dengan tahun 11 hijriah bertepatan  dengan tahun 632 masehi. Masa ini merupakan kurun waktu turun wahyu (‘ashr al-wahyi) dan sekaligus sebagai masa pertumbuhan Hadis.
Wahyu yang diturunkan Allah SWT kepada Rasul dijelaskannya melalui perkataan (aqwal), perbuatan (af’al), dan ketetapannya (taqarir) dihadapan para sahabat. Apa yang di dengar, dilihat, dan disaksikan oleh mereka, merupakan pedoman bagi amaliah dan ubudiah mereka sehari-hari. Dalam hal ini Rasul SAW merupakan contoh satu-satunya bagi para sahabat, karena ia memiliki sifat kesempurnaan dan keutamaan selaku Rasul Allah SWT yang berbeda dengan manusia lainnya.

1.       Beberapa petunjuk Rasul  SAW
Dalam suatu majilis ilmu, Rasul SAW adalah guru atau pembina bagi para sahabatnya. Beliau mengerjakan segala aspek ajaran Allah SWT, sesuai dengan kedudukannya sebagai Rasul terakhir.
Rasul juga sering menyampaikan do’a-do’anya kepada siapa saja yang menyampaikan ajarannya, agar dibukakan pintu hatinya, serta mendapat imbalan dari pada-Nya(H.R. Ahmad dari Ibn Mas’ud). Dalam beberapa sabdanya beliau juga menyampaikan wasiat-wasiatnya untuk selalu menyampaikan Hadis kepada orang lain.

2.       Cara Menyampaikan Hadis
Menurut riwayat al-Bukhari, Ibnu Mas’ud pernah bersabda bahwa untuk tidak melahirkan rasa jenuh dikalangan sahabat, Rasul SAW menyampaikan hadisnya dengan berbagai cara, sehingga membuat para sahabat selalu ingin mengikuti pengajiannya.
Ada beberapa teknik atau cara Rasul SAW menyampaikan Hadis kepada para sahabat, yang disesuaikan dengan kondisi mereka.
Pertama, melalui para jama’ah pada pusat pembinaannya yang disebut majelis al-‘Ilmi. Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima Hadis, sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasi kan diri untuk mengikuti kegiatannya.
Kedua, dalam banyak kesempatan Rasul SAW juga menyampaikan hadisnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para sahabat tersebut disampaikannya kepada orang lain.
Ketiga, melaui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan futuh Makkah.
Keempat, melalui perbuatan langsungnyang disaksikan oleh para sahabatnya (jalan musya’hadah), seperti yang berkaitan dengan praktek-praktek ibadah dan mua’malah.
Ada suatu keistimewaan pada masa ini yang membedakannya dengan masa lainnya. Umat islam pada masa ini dapat secara langsung memperoleh Hadis dari Rasul SAW sebagai sumber Hadis. Antara Rasul SAW dengan mereka tidak ada jarak atau hijab yang dapat menghambat atau mempersulit pertemuannya.
Tempat-tempat yang digunakan untuk pertemuan dan untuk mendapatkan pengajaran dari Rasul SAW juga sangat bervariasi. Dan tidak kaku pada tempat-tempat tertentu saja. Tempat-tempat yang efektif biasanya digunakannya, seperti di masjid, rumah kediamannya sendiri, pasar ketika dalam perjalan (safar), dan ketika muqi’m (berada dirumah).
Ada beberapa tujuan Rasul menyampaikan hadis kepada para sahabat, diantaranya ialah: pertama, karena ia bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat yang diturunkan Allah SWT kepadanya dalam waktu yang cukup panjang; kedua, ia bermaksud menjelaskan kepastian hukum tentang suatu peristiwa yang dilihat dan dialaminya sendiri; ketiga, bermaksud menjelaskan kepastian hukum tentang suatu peristiwa yang terjadi pada para sahabat yang ditanyakan kepadanya, baik oleh pelaku peristiwa itu maupun melalui orang lain; keempat, bermaksud menjellaskan kepastian hukum yang terjadi pada masyarakat yang disaksikan oleh sahabat; kelima bermaksud meluruskan akidah yang salah atau tradisi yang tidak sejalan dengan ajaran islam.

3.       Keadaan Para Sahabat dalam Menerima dan Menguasai Hadis
Dalam perolehan dan penguasaan Hadis, antara satu sahabat dengan sahabat lainnya tidak sama. Ada yang memiliki lebih banyak, ada yang sedang, ada yang sedikit.

4.       Pemelihara Hadis dalam Hafalan dan Tulisan
a.       Aktifitas menghafal hadis
Untuk memelihara kemurnian untuk mencapai kemaslahatan al-Qur’an dan Hadis, sebagai dua sumber ajaran Islam, Rasul SAW Mengambil kebijaksanaan yang agak berbeda.
Terhadap al-Qur’an beliau secara resmi memberi instruksi kepada sahabat tertentu supaya  menulis disamping menghafalnya. Sedang terhadap Hadis perintah resmi itu hanya untuk menghafal dan menyampaikannnya kepada orang lain.
Dengan demikian maka Hadis-hadis yang diterima dari Rasul SAW oleh para Sahabat dihafal secara sungguh-sungguh dan hati-hati , untuk tidak terjadi kekeliruan, baik dalam lafadz maupun maknany, dan supaya tidak tercampur dengan ayat-ayat al-Qur’an.

b.      Aktifitas  Mencatat atau Menulis Hadis
Banyak sekali para sahabat yang memiliki catatan-catatan dan melakukan penulisan Hadis, bukan untuk disimpan sebagai catatan-catatan pribadi maupun untuk memberikan pesan-pesan kepada orang lain dalam bentuk surat menyurat dengan membubuhkan Hadis.
Di antara para sahabat yang melakukan penulisan Hadis, dan memiliki catatan tersebut, ialah:
Pertama, Abdullah bin Amr al-‘Ash(27 SH-63 H). Ia memiliki catatan Hadis yang menurut pengakuannya di benarkan oleh Rasul SAW sehingga diberinya nama as-shahi’fah  as-shadiqah.
Kedua, Jabir bin Abdillah bin Amr bin Haram al-Anshari(16 SH-78 H). Ia memiliki catatan Hadis dari Rasul SAW tentang menasik Haji. Hadis-hadisnya kemudian diriwayatkan oelh Muslim. Catatannya ini dikenal dengan shahifah Jabir.
Ketiga, Anas bin Malik(10 SH-93 H). Di samping ia sendiri menulis dan menghafal Hadis, ia juga mendorong putra-putrinya untuk menuliskan Hadis.

B.     Hadis pada Masa Sahabat
Periode kedua sejarah perkembangan Hadis, adalah masa sahabat khususnya masa khulafa’ar-rasyidin(Abu Bakar, Umar bin al-Khathab, Usman bin Affan, dan Ali bin Ali Thalib). Masa ini terhitung sejak tahun 11 H sampai dengan 40 H, yang disebut juga dengan masa sahabat besar.
Pada masa sahabat besar ini, perhatian mereka masih terfokus kepada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an. Dengan demikian maka periwayatan Hadis belum begitu berkembang, bahkan mereka berusaha membatasi periwayatan Hadis tersebut. Oleh karena itu, masa ini oleh para ulama dianggap sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan atau memperketat periwayatan(at-tatsabbut wa al-iqlal min ar-riwayah).
1.      Memelihara Amanah Rasul SAW
Para sahabat, sebagai generasi pertama yang menerima amanah terbesar bagi kelangsungan syari’at Islam, adalah menerima dan melaksanakan segala amanah Rasulullah. Amanah itu essensinya tertuang pada al-Qur’an dan Hadis, sebagaimana sabdanya ketika menjelang akhir kerasulannya, yang berbunyi:

“Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan sesat setelah berpegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah (al-Qur’an) dan Sunahku.
”(H.R. al-Hakim dari Abu Hurairah)

Pada Hadis lain Rasul juga berpesan:
“Sampaikanlah dariku walau satu ayat/satu Hadis.”(H.R. al-Bukhari dari Abdullah bin Amr bin al-‘Ash).

2.      Kehati-hatian para Sahabat dalam Menerima dan Merwayatkan Hadis
Setelah Rasul SAW wafat, perhatian para sahabat terfokus pada usaha menyebarluaskan dan memelihara al-Qur’an. Al-Qur’an yang telah dihafal oleh ribuan penghafalnya dengan teratur, dan telah ditulis dalam berbagai shuhuf oleh para penulisnya (baik untuk Nabi SAW sendiri maupun untuk kepentingan masing-masing), mendapat prioritas utama untuk terus disebarkan ke berbagai pelosok wilayah Islam dan seluruh Masyarakat.

3.      Upaya para Ulama Men-taufiq-kan Hadis tentang  Lrangan Menulis Hadis
Perselisihan para ulama dalam soal pembekuan Hadis berpangkal pada adanya dua kelompok Hadis, yang dari sudut zhahirnya nampak adanya kontradiksi. Kelompok Hadis yang Pertama, menunjukkan adanya larangan Rasul SAW menuliskan Hadis, yang diantaranya berbunyi;
“ Janganlah kamu sekalian menulis apa saja dariku selain al-Qur’an. Siapa yang telah menulis dariku selain al-Qur’an, hendaklah dihapus. Ceritakan saja apa yang diterima dariku, dan Siapa yang dengan sengaja berdusta atas namaku, ia niscaya menempati tempat duduknya di api neraka.
Hadis diatas diriwayatkan oleh Muslim melalui silsilah sanad Hammam, dari Zaid bin Aslam, dari Atha’, dari Abu Sa’id al-Khudri Sanad-sanad  Hadis ini oleh para ulama dinilai Shahih.
Sedangakan Hadis kelompok kedua, adalah beberapa Hadis, seperti riwayat Abdullah bin Amr bin al-‘Ash dan Hadis tentang Abu Syah seperti telah disebutkan pada subbab diatas. (4. B. Bab ini) Hadis-hadis tersebut menunjukkan adanya perintah Rasul SAW untuk menuliskan Hadis-hadis dari padanya.

C.     Hadis pada Masa Tabi’in

1.      Sikap dan perhatian para Tabi’in terhadap Hadis
Sebagaimana para sahabat, para tabi’in juga cukup berhati-hati dalam periwayatan Hadis. Hanya saja beban mereka tidak terlalu berat jika dibanding dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf, sehingga tidak lagi mengkhawatirkan mereka. Selain itu, pada masa akhir periode khulafa ar-rasyidin (masa khalifah Utsman bin Affan) para sahabat ahli Hadis telah menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan Islam. Ini merupakan kemudahan bagi para tabi’in untuk mempelajari Hadis-hadis dari mereka.
2.      Pusat-pusat Kegiatan Pembinaan Hadis
Sesuai dengan tersebarnya para sahabat ke wilayah-wilayah kekuasaan Islam, Maka tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan Hadis, sebagai tempat tujuan para tabi’in dalam mencari Hadis, dan pada gilirannya menjadi pusat kegiatan para tabi’in dalam meriwayatkan Hadis-hadis tersebut kepada para muridnya(tabi’at-tabi’in).

3.      Para Penulis Hadis di Kalangan Tabi’in
Sebagaimana para sahabat, dikalangan tabi’in, baik tabi’in besar maupun tabi’in kecil, juga melakukan dua hal yaitu menghafal dan menulis Hadis.

4.      Perpecahan Politik dan Pemalsuan Hadis
Peristiwa yang cukup mengkhawatirkan dalam sejarah perjalanan Hadis, ialah terjadinya pemalsuan Hadis, yang salah satu penyebabnya ialah terjadinya perpecahan politik dalam pemerintahan. Dipandang mengkhawatirkan, karena, merupakan tindakan yang mencemarkan dan menodai kemurnian Hadis dari dalam, dan ini oleh para pengingkar orientalis dijadikan salah satu alasan kuat untuk melemahkan kedudukan Hadis.

D.     Masa Kodisifikasi Hadis
Kodifikasi atau tadwin Hadis, artinya ialah pencatatan, penulisan atau pembukuan Hadis. Secara individual, seperti diuraikan dalam pembahasan diatas, pencatatan telah dilakukan oleh para sahabat sejak jaman Rasul SAW.

1.      Latar belakang Pemikiran Munculnya Usaha Kodifikasi Hadis
Ada tiga hal pokok mengapa khalifah Umar bin Abd al-Aziz mengambil kebijaksanaan seperti ini. Pertama, ia khawatir hilangnya Hadis-hadis, dengan meninggalnya para ulama di medan perang. Kedua, ia khawatir akan tercampurnya antar Hadis-hadis yang Shahih dengan Hadis-hadis palsu. Ketiga, bahwa dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam, sementara kemampuan para tabi’in antara satu dengan yang lainnya tidak sama, jelas sangat memerlukan adanya usaha kodifikasi ini.
2.      Pembukuan Hadis Pada Kalangan Tabi’in dan Tabi’at Tabi’in Setelah Ibn Syibah az-Zuhri
Diantara para ulama setelah az-Zuhri, ada ulama ahli Hadis yang berhasil menyusun kitab tadwin, yang bisa diwariskan kepada generasi sekarang, yaitu Malik bin Anas (93-179 H) di Madinah, dengan kitab hasil karyanya bernama al-Muwaththa. Kitab tersebut selesai disusun pada tahun 143 H dan para ulama menilainya sebagai kitab tadwin yang pertama.




E.      Masa Seleksi, Penyempurnaan, dan Pengembangan Sistem Penyusunan Kitab-kitab Hadis

1.      Masa Seleksi Hadis
Yang dimaksud dengan masa seleksi atau penyaringan disini, ialah
masa upaya para mudawwin Hadis yang melakukan seleksi secara ketat, sebagai kelanjutan dari upaya para ulama sebelumnya yang telah berhasil melahirkan suatu kitab tadwin. Masa ini dimulai sekitar akhir abad III, atau ketika pemerintahan dipegang oleh dinasti Bani Abbas, khususnya sejak masa al-Mukmun sampai dengan akhir abad III atau awal abad IV, masa al-Muktadir.
            Munculnya periode seleksi ini, karena pada periode sebelumnya yakni periode tadwin, belum berhasil memisahkan beberapa Hadis Mauquf dan Maqthu dari Hadis Marfu. Begitu pula masih belum bisa memisahkan beberapa Hadis yang Dha’if dan yang Shahih.
            Pada masa ini ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan Hadis yang diterimanya. Melalui kaidah-kaidah yang ditetapkannya. Dan para ulama pada masa ini berhasil memisahkan Hadis-hadis yang Dha’if dari yang Shahih dan Hadis-hadis yang Mauquf dan yang maqfu dari yang marfu’.

2.      Kitab-Kitab Induk Yang Enam (al-Kutub as-Sittah)
Satu per satu kitab-kitab hasil seleksi ketat itu pada masa ini. Ulama  yang pertama kali berhasil menyusun kitab tersebut, ialah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mugirah bin Bardizbah al-Bukhari

3.      Masa Pengembangan dan Penyempurnaan Sistem Penyusunan Kitab-kitab Hadis
Penyusunan kitab-kitab pada masa ini lebih mengaruh kepada usaha mengembangkan beberapa variasi pen-tadwinan terhadap kitab-kitab yang sudah ada. Maka setelah berjalan beberapa saat dari munculnya Kutub as-Sittah, al-Muwaththa’ Malik bin Anas, dan al-Musnad Ahmad ibn Hambal, para ulama mengalihkan perhatiannya untuk menyusun kitab-kitab jawami (mengumpulkan kitab-kitab Hadis menjadi satu karya),


Firqoh Fasiha Ohoirenan (12730071)
Ilmu Komunikasi (B)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar